Indonesia Raya "Pantun"

Jualan pakaian belum juga laku
Eh si Nomnom gomes jogetnya salah
Heemm betapah sedih nya diriku
Catatan pantun ketinggalan di sekolah

Kenapa Hannah Hutan?
Karna Hutan tempat yang tenang
Untuk Muhasabah
Memperbaiki sel syaraf yang sudah berantakan barangkali


WELCOME TO OUR JUNGLE

Kamis, 04 April 2019

Kebebasan VS Ketaatan

OPINI
*KEBEBASAN VS KETAATAN*

Semua bisa didiskusikan, apakah sebab sudah matinya budaya diskusi dikalangan Mahasiswa? Atau sebab sudah matinya membaca buku dikalangan Mahasiswa? Berbagai pertentangan hadir tanpa tau apa yang benar-benar diperjuangkan. Tanpa tau apa yang benar benar dilawan. Agaknnya selalu ada binari dalam kehidupan. Kebebasan dalam Demokrasi? Atau Ketaatan dalam Peraturan? Seharusnya kedua hal tersebut dapat seimbang. Seperti siang dan malam yang saling melengkapi, Perempuan dan Lakilaki yang saling berdampingan untuk melanjutkan Peradaban.
Bagi orang-orang yang sudah terbiasa dengan buku-buku perlawanan, akan tidak sepakat dengan ketaatan peraturan, dan bagi orang-orang yang terbiasa dengan buku dan lingkungan yang mendukung “sami’na wa ‘atho’na” tentu sangat menjunjung tinggi nilai ketaatan, karna hanya dengan ketaatan Indonesia dapat menjadi Negara selayaknya Malaysia barangkali.
Saya teringat sebuah perjalanan yang baru saja berlangsung, saya  melihat sebuah perbedaan dasar, saat itu kami akan menuju sebuah Museum di Thailand bernama Satun National Museum, untuk menuju kesana ada jalur masuk dan keluarnya, hari itu tepatnya hari libur Nasional di Thailand jadi Museum tampak sepi, saya dan tiga orang teman ada di mobil dengan driver seorang Ibu berkebangsaan Thailand namun dapat berbahasa Melayu sebab menikah dengan orang Malaysia, dan cukup lama tinggal di Malaysia, hingga saat ini Anak Anaknya pun hidup dan bekerja di Malaysia, kemudian ketiga teman lagi ada di mobil dengan driver seorang Ibu dengan profesi sebagai Dokter berkebangsaan Thailand namun tidak dapat berbahasa Melayu dan Inggris. Kami akan memasuki daerah Museum, tapi tidak diperbolehkan masuk dari jalur kanan, harus muter ke jalur kiri, seorang Ibu yang telah pernah tinggal di Malaysia tersebut memilih jalan muter untuk mematuhi peraturan Museum, padahal saat itu tidak ada penjaga dan Ibu tersebut bisa tenang saja jika ia memilih lajur kanan yang dilarang, sedangkan Ibu yang sejak lama tinggal di Thailand, dengan berbagai pertimbangannya, ia pun membelok tidak mematuhi plang DILARANG MASUK yang sudah dipasang di daerah Museum. Saya berfikir dan melihat Satun, satu di antara beberapa Negeri di Thailand, tepatnya Thailand Selatan, memang ia belum benar rapi layaknya Negeri Kedah di Malaysia, penduduknya pun hampir sama seperti Indonesia yang jarang menggunakan helm jika berkendara, bahkan saya mengingat dua kali terjadi kecelakaan di jalan raya saat melewati jalanan di daerah Satun tersebut. Pelajaran singkat ini semoga dapat dipahami.
Kembali ke Indonesia dengan masalahnya yang tak kunjung padam. Ah saya tak ingin menceritakan Negara yang penuh jeritan suara Rakyat ini. Ada bagian dari Negara ini yang sedang bergejolak, Kampus dimana saya sedang bergelut menyelesaikan tugas akhir. Kampus yang saat ini sedang bergolak, bukan hanya satu unit saja, melainkan banyak unit yang berakhir pada pertentangan tak berkesudahan, dampaknya bahkan memunculkan berbagai issue dan demonstrasi hingga seantero Kampus yang lain. Membuat Kampus pun tak lagi nyaman, bukan hanya Negara ini dengan pertentangan 01 dan 02 nya, di Kampus pun dengan pertentangan Kebebasan dan Ketaatannya.
Mereka yang menggaungkan Kebebasan tampak tidak mengindahkan keinginan Rektor agar naskah dicabut dari web dan meminta maaf kepada khalayak Universitas, dan khawatir dengan kesewenang wenangan Penguasa yang menindas kebebasan Mahasiswanya.
Mereka yang menggaungkan Ketaatan tampak khawatir sebab berbagai berita tentang akan resminya lesbian, gay, biseksual dan transgender yang sudah diperjuangkan sejak lama itu mengganggu nilai dan ketaatan yang seharusnya dapat menjadi jalan menuju Indonesia sejahtera dan aman dari kutukan Tuhan.
Pandangan saya terhadap cerpen yang ditulis oleh Yael memiliki banyak makna, makna kebebasan, makna kebablasan, makna ketidaktahuan, dan bahkan ada hiburan di dalamnya.
Saya membaca ulang cerpen tersebut di laman www.andreasharsono.web . Pada paragraf ke 5 ada pertanyaan “Apa yang salah?”, kemudian dilanjutkan pada paragraf ke 20 “Kalau setiap hari bawa-bawa agama, lama-lama Tuhan bosan juga,” ucap Laras.
Nah disini saya memandang bahwa Penulis tidak ingin diberikan kesalahan-kesalahan dengan versi Agama. Pertanyaan “apa yang salah?” tersebut ingin diselesaikan dengan cara ilmiah. Ya sudah ada bukan? Dampak negatif dari pernikahan sejenis? Namun saya melihat lagi kisah yang dituliskan dalam cerpen, kondisi Negara yang carut marut, orang-orang yang hanya mempersalahkan, judging, tidak merangkul, tidak memberi edukasi, tidak menuntun, itu yang membuat Kirana Cantika Putri Dewi tak tau arah, kehilangan dirinya sendiri dan memutuskan untuk mencintai Larasati. Ah sebagai Perempuan, sayang maupun cinta dengan sesama jenis itu biasa terjadi di antara Perempuan atau bahkan berbeda jenis, karna memang fitrah setiap Makhluk adalah mencintai. Namun apakah benar mencintai itu harus menseksuali? Maksud saya, apakah jika Kirana jatuh cinta dengan Laras harus menikah? Harus melakukan hubungan seksual? Tidak kan! Apakah benar itu cinta? Atau sebab Kirana mengalami kegoncangan dalam hidupnya hingga ia memilih hancur sehancur hancurnya dengan mengatakan hal demikian.
Saya banyak mendengar kisah seperti Kirana yang hancur sebab perekonomian, keluarga yang berantakan, ah banyak sekali, namun syukurnya tidak sampai mengalami gangguan seksual layaknya Kirana. Ada banyak sekali hidup Anak-anaknya yang hancur akibat kondisi dunia yang tak menentu saat ini, namun kita memang punya pilihan atas hidup ini, apakah ingin hancur sehancur hancurnya hingga berkeping keping, atau memilih memperbaiki?
Saya juga memandang di dalam cerpen ada hiburan yang berusaha diselipkan oleh Penulis, dalam paragraf ke 9 “...Lahir secara normal. Ibu begitu kuat hingga sekali nafas panjang aku langsung lahir ke dunia ini. ...” bagi saya ini adalah hiburan, bibirku sedikit tersenyum membaca kalimat ini.
Beberapa tulisan perlawanan yang saya baca, memang lah sedemikian rupa, blak blakan dan tanpa tedeng aling aling, namun sekalipun itu adalah tulisan sastra, ia tetaplah pistol yang ditembakkan kepada setiap pembacanya. Seperti hal nya tulisan-tulisan Pram yang pernah saya baca, saat membaca tulisan tersebut ghairah saya untuk mengabdi pada Negara, membongkar kebusukan yang terjadi dan semangat ataupun amarah lainnya. Barangkali ada beberapa pembaca yang meluap amarahnya, ada pula yang menganggap tulisan itu adalah celoteh anak muda yang lupa akan dirinya, barangkali ia sudah lama tidak pergi ke Gereja atau Masjid tempat mengadu dan mengeluh perihal hidupnya yang tak kunjung membaik. Ahahaa. Maaf, ah terlepas dari itu, bukan hak saya menganggap apapun. Namun dalam tulisan tersebut Penulis berusaha untuk menunjukkan penindasan dari segala sektor, perampasan tanah, penguasa yang menindas, orang-orang yang merasa benar atas masalah orang lain, seperti pandangan Kakek Kirana terhadap Ibunya. Benarlah apa kata temannya Pram “Adil lah sejak dalam Pikiran” . Kalimat itu barangkali dapat digunakan dalam situasi yang mencekam di Kampus saat ini. Lapangkan pikiran dan bermusyawarahlah.
Ah iya, kabarnya sudah ada Musyawarah antara pihak Rektorat dengan ke 18 Pengurus Suara Usu, namun SU tidak berkenan mengikuti permintaan Rektorat, maka akhirnya diambil lah keputusan untuk memberhentikan Pengurus SU dan mengosongkan sekretariat mereka. Dilansir dari tribunnews, Rektor mengatakan bahwa Suara Usu tetap eksis namun diganti dengan orang orang yang lebih baik. Belum lagi membahas bagaimana pengertian baik yang dimaksud Rektor, ahh tulisan ini akan semakin panjang.
Namun terlepas dari apa maksud Rektor, disini tindakan yang sangat disayangkan adalah pengosongan sekretariat SU dilakukan dengan cara refresif, hal itu semakin membuat beberapa Mahasiswa tidak berkenan dan masalah ini berlarut hingga ke seantero Kampus lainnya.
Apapun itu dalam Agama manapun tentu LGBT dilarang dan malah merupakan tindakan tidak Manusiawi, WAJIB ditolong dan diperbaiki. Ayolah, kita butuh kepala dingin untuk saling memahami persepsi, bukan egois membela ideologi masing-masing. Tak akan usai jika ideologi itu menjadi alat untuk mempertentangkan, hanya ada saling curiga dan ketidaksepakatan.
Jadi sebenarnya apa yang kita lawan?!!!
Kita mau melawan Ketaatan? Tidak bisa, sebab Taat adalah konsekuensi seorang yang berNegara, konsekuensi seorang Mahasiswa yang memiliki Kampus. Saya sempat membaca tulisan di blog milik imajinasiintan.blogspot.com, barangkali benar pendapatnya, mungkin jika tulisan itu tidak dipublish di dalam Kampus, tidak membawa civitas akademik, mungkin tidak dipermasalahkan oleh pihak Universitas.
Kita mau melawan Kebebasan? Tidak bisa, sebab lupakah kita bahwa Agama adalah membebaskan diri dari segala bentuk penghambaan terhadap Manusia.
Masalahnya kita saling menjajah dan memberangus sebangsa sendiri. Sejak dulu, seperti itu nyatanya watak Indonesia atau bukan hanya Indonesia, Manusia pada umumnya ... entahlah!

-hannahusmalinalubis